Dua orang pria tiba-tiba muncul di sebuah jalan sempit, mereka hanya terpisah beberapa meter, diterangi cahaya bulan. Untuk beberapa saat mereka hanya terdiam tetapi saling mengarahkan tongkat sihir ke dada yang lainnya; namun setelah saling mengenali, mereka menarik tongkat mereka dan menyelipkannya di balik jubah masing-masing dan mulai berjalan bersama-sama.
“Ada berita baru?” tanya lelaki yang lebih tinggi.
“Tentu saja,“ jawab Severus Snape
Jalan yang mereka lewati ditumbuhi rumput liar di sebelah kirinya, sedangkan di sebelah kanannya dibatasi pagar yang tinggi.
“Sudah kuduga aku akan terlambat,” kata Yaxley, bayangannya muncul tenggelam di keremangan cahaya bulan “ternyata lebih sulit dari yang kukira. Tapi semoga saja dia puas dengan hasil kerjaku. Kau sendiri yakin sekali akan diterima dengan baik?”
Snape hanya mengangguk. Mereka berbelok ke kanan, menuju ke sebuah jalan masuk yang lebar. Dihiasi pagar-pagar yang melekung di atas mereka, di ujung jalan masuk tersebut terdapat sebuah pintu gerbang besi. Namun kedua lelaki tersebut tidak melambatkan langkah mereka: mereka hanya mengangkat tangan kiri mereka seperti menunjukan penghormatan dan berjalan menembus gerbang besi tersebut seperti menembus asap. Suara pohon-pohon cemara yang memagari jalan bercampur dengan suara langkah mereka. Kemudian terdengar sebuah suara gaduh di sebelah kanan mereka, Yaxley menarik kembali tongkat sihirnya dan mengacungkannya ke kepala Snape, tetapi ternyata suara tersebut berasal dari seekor merak berwarna putih, berdiri angkuh di atas pagar.
“ Lucius selalu saja mendapatkan yang terbaik, merak huh…” Yaxley memasukkan kembali tongkatnya.
Sebuah rumah besar terlihat di ujung jalan, cahaya terlihat berkilatan di balik jendelanya. Lantai halaman berbunyi saat Snape dan Yaxley melangkah melewatinya menuju pintu depan, yang langsung terbuka dengan sendirinya. Ruang di dalamnya sangat lebar, diterangi cahaya temaram dan lantainya dihiasi karpet yang sangat indah. Wajah dalam lukisan di dinding mengawasi mereka saat melewatinya. Keduanya berhenti di depan pintu kayu besar yang menuju ke ruang lainnya, dengan sedikit ragu-ragu Snape membuka pintu tersebut. Ruangan tersebut dipenuhi orang-orang yang duduk terdiam mengelilingi meja yang besar. Furnitur yang biasanya ada di ruangan tersebut dipinggirkan secara asal-asalan. Cahaya berasal dari perapian yang dihiasi pualam dengan bingkai kaca.
Snape dan Yaxley terdiam sejenak. Mata mereka mulai membiasakan dengan cahaya yang minim, sesosok tubuh terbalik mengambang dan berputar perlahan di atas meja seakan-akan digantung dengan tali yang tak terlihat. Tak seorangpun yang memberi perhatian pada sosok mengambang tersebut kecuali seorang pemuda yang duduk tepat dibawahnya. Dia sepertinya tak mampu menahan diri untuk melihat sosok mengambang tersebut beberapa menit sekali.
“Yaxley, Snape,” sebuah suara yang tinggi terdengar dari ujung meja. “ Kalian terlambat.” Orang yang berbicara tersebut duduk tepat membelakangi perapian, sehingga hanya terlihat bayangannya saja. Setelah mereka mendekat, wajah orang tersebut mulai terlihat, kepalanya tak berambut, wajahnya menyerupai ular dengan dua lubang kecil untuk hidungnya dan dua mata merah dengan pupil vertikal. Dia sangat pucat solah-olah kulitnya dari mutiara.
“Severus, kau di sini,” kata Voldemort, sambil menunjuk kursi di samping kanannya. “Yaxley, kau di sebelah Dolohov.”
Keduanya mengambil tempatnya masing-masing. Semua mata mengikuti Snape kemudian Voldemort bertanya padanya.
“Jadi?”
“Tuanku,Order of The Phoenix bermaksud memindahkan Harry Potter dari kediamannya besok Sabtu malam.”
Suara bisik-bisik mulai terdengar, beberapa orang seperti tegang, yang lainnya terlihat resah, semuanya melihat ke arah Snape dan Voldemort.
“Sabtu… malam hari,” ulang Voldemort. Mata merahnya memandang tajam ke arah mata Snape bahkan beberapa orang lainnya memalingkan wajahnya seakan-akan mereka takut dipandang mata tajam tersebut. Namun Snape terlihat tenang dan tetap memandang Voldemort, kemudian setelah beberapa saat Voldemort terlihat tersenyum.
“Bagus, sangat bagus. Dan informasi ini berasal dari…”
“Dari sumber yang telah kita bahas sebelumnya,” kata Snape.
“Tuanku.” Yaxley mencondongkan tubuhnya ke depan memandang ke arah Voldemort dan Snape. Semua wajah memandangnya.
“Tuanku, saya mendengar berita yang berbeda.” Yaxley menunggu tanggapan, tetapi Voldemort tidak berbicara, kemudian Yaxley melanjutkan ucapannya, “Dawlish, seorang Auror, terlepas berbicara bahwa Potter tidak akan dipindahkan sampaitanggal tiga puluh , malam sebelum bocah itu berumur tujuh belas tahun.”
Snape hanya tersenyum.
“Sumberku mengatakan bahwa mereka berencana untuk memakai jejak palsu; info ini pasti benar. Saya tak ragu karena mantra Confundus telah digunakan kepada Dawlish. Ini bukan yang pertama kali karena dia sangat mudah dikuasai. Dan Dawlish sepertinya yakin dengan infonya.”
“Jika dia sudah dimantrai Confundus , tentu saja dia merasa yakin,” kilah Snape.
“Yakinlah Yaxley, kantor Auror tidak akan ambil bagian dalam pengamanan Harry Potter. Orde merasa bahwa kita telah menyusupi Kementrian.”
“Untuk yang satu iniOrde menebak dengan benar.” Kata orang pendek yang duduk tidak begitu jauh dari Yaxley; dia terkekeh kecil hingga bergema sepanjang meja tersebut. Voldemort hanya terdiam. Pandangannya ke depan, ke arah sosok mengambang, namun sepertinya pikirannya berada di tempat lain.
“Tuanku,” Yaxley berkata, “Dawlish yakin bahwa sepasukan Auror akan dikerahkan untuk memindahkan bocah itu – ..”
Voldemort mengangkat tangannya yang berwarna pucat dan Yaxley langsung terdiam, kemudian Voldemort memandang Snape lagi.
“Di mana mereka akan menyembunyikan bocah itu?”
“Di rumah salah satu anggotaOrde ,” jawab Snape. “Tempat tersebut, menurut sumber saya, telah diberi segala jenis perlindungan yang dapat diberikan baik olehOrde maupun oleh Kementrian. Menurut saya kemungkinannya sangat kecil untuk mendapatkan anak tersebut setelah dia ada disana Tuanku, kecuali tentu saja jika Kementrian dapat kita kuasai sebelum Sabtu depan, ini akan memberi kita kesempatan untuk mengetahui jenis perlindungannya dan mematahkannya sehingga kita dapat menerobos masuk.”
“Kalau begitu, bagaimana Yaxley?” Tanya Voldemort, cahaya api terlihat berkilatan di mata merahnya. “Bisakah Kementrian kita kuasai sebelum Sabtu depan?” Sekali lagi semua mata mengarah ke arah Yaxley.
“Tuanku, saya punya berita bagus untuk yang satu ini. Saya telah melakukan mantra Imperius pada Pius Thicknesse, dengan susah payah tentunya.”
Orang-orang yang duduk di sekitar Yaxley terlihat terpesona; sebelahnya – Dolohov-, orang yang bermuka panjang, menepuk-nepuk punggungnya.
“Paling tidak ini sebuah permulaan.” Kata Voldemort. “ Tapi Thicknesse hanyalah satu orang. Scrimgeour harus dikelilingi orang-orang kita sebelum aku bertindak. Jika aku gagal membunuh Menteri itu akan berkibat fatal, aku harus memulai dari nol lagi.”
“Ya, Tuanku tentu saja benar, tetapi seperti yang telah Tuanku ketahui, Thicknesse adalah Kepala Departemen Penegakan Hukum, sehingga dia punya akses langsung ke Menteri dan ke semua Kepala Departemen di Kementrian Sihir. Saya rasa, dengan adanya pegawai berpangkat tinggi yang kita kontrol, ini akan memudahkan bagi kita untuk menguasai yang lainnya, kemudian mereka akan bersama-sama bekerja menjatuhkan Scrimgeour.”
“Sepanjang Thicknesse tidak terbongkar rahasianya sebelum dia mengontrol yang lainnya,” kata Voldemort. “Bagaimanapun juga, tetap saja sulit untuk menguasai Kementrian sebelum Sabtu depan. Jika kita tidak dapat menyentuh anak itu di tempat persembunyiannya, maka kita harus melakukannya pada saat dia dipindahkan.”
“Kita juga mempunyai keuntungan untuk yang satu ini, Tuanku,” kata Yaxley dengan penuh keyakinan. “Kita sekarang memiliki beberapa orang yang telah disusupkan dalam Departemen Transportasi Sihir. Jika PotterApparate atau menggunakan JaringanFloo , kita akan segera mengetahuinya.”
“Dia tidak akan menggunakan keduanya,” sahut Snape. “Ordetidak akan memakai segala macam bentuk transportasi yang diawasi dan dikontrol oleh Kementrian; mereka sangat berhati-hati mengenai tempat persembunyian ini.”
“Lebih bagus lagi,” kata Voldemort. “Dia akan bepergian di tempat terbuka. Lebih mudah untuk dijatuhkan.”
Kemudian Voldemort memandang kembali ke arah sosok yang mengambang sambil berkata, “Aku harus menemui sendiri anak itu. Terlalu banyak kesalahan yang kita lakukan dalam menghadapi anak itu. Beberapa kesalahan bahkan aku lakukan sendiri. Lolosnya Potter dari maut lebih karena kesalahkanku, bukan karena kekuatan anak itu.”
Orang-orang di sekitar meja itu memandang Voldemort dengan penuh pengertian, masing-masing merasa bersalah atas lolosnya Harry Potter dari kematiannya. Namun Voldemort sepertinya berbicara kepada dirinya sendiri, sambil terus memandang sosok tubuh mengambang di atas meja tersebut.
“Aku telah bertindak ceroboh, dan sepertinya keberuntungan belum berpihak padaku. Tapi aku telah paham sekarang, hal-hal yang tadinya tak kumengerti sekarang telah kumengerti. Akulah satu-satunya yang harus membunuh Harry Potter dan itu akan segera terjadi.”
Seperti sebuah jawaban dari situasi ini, tiba-tiba sebuah raungan yang penuh penderitaan dan kesakitan terdengar. Mereka menengok ke bawah, suara raungan tersebut berasal dari bawah kaki mereka.
“Wormtail,” kata Voldemort tanpa ada perubahan intonasi di suaranya dan tanpa mengalihkan pandangannya, “bukankah telah kuperintahkan padamu untuk menenangkan tawanan kita?”
“Ya, T-Tuanku,” jawab orang pendek yang duduk dengan sangat rendah di kursinya sampai hampir tak terlihat. Dia bergegas berdiri dari kursinya dan keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan jejak perak di belakangnya.
“Seperti yang telah ku katakan,” lanjut Voldemort memandang kembali ke wajah pengikutnya yang tegang. “Aku telah paham beberapa hal sekarang, contohnya aku harus meminjam tongkat kalian sebelum aku membunuh Harry Potter.”
Wajah-wajah orang disekelilingnya terlihat terkejut: seolah-olah mereka merasa harus
memberikan salah satu tangan mereka.
“Tidak ada yang mau meminjamkan?” kata Voldemort. “Baiklah kalau begitu… Lucius, menurutku kau tidak membutuhkan tongkat sihir lagi.” Lucius Malfoy mengangkat kepalanya. Wajahnya terlihat lebih kuning dan berkilatan diterangi api perapian. Ketika dia berbicara suaranya terdengar parau.
“Tuanku?”
“Tongkatmu Lucius. Aku membutuhkan tongkatmu.”
“Saya…” Malfoy melirik ke arah istrinya. Istrinya memandang lurus ke depan, pucat seperti biasanya, rambutnya yang pirang dan panjang terurai ke belakang., tapi di bawah meja tangannya memegang pergelangan suaminya. Malfoy mengambil tongkatnya dari jubahnya dan menyerahkannya ke Voldemort, yang kemudian memegang dan memeriksanya dengan seksama.
“Terbuat dari apa ini?”
“KayuElm Tuanku.” Kata Malfoy.
“Dan intinya?”
“Pembuluh jantung naga.”
“Bagus,” kata Voldemort. Dia mengambil tongkatnya sendiri dan membandingkan panjang keduanya. Untuk sesaat Malfoy bergerak seolah-olah berharap akan menerima tongkat Voldemort sebagai ganti tongkatnya. Gerakan itu terbaca oleh Voldemort yang matanya melebar sinis.
“Kau kira aku akan memberikan tongkatku Lucius?” Beberapa orang tertawa kecil.
“Aku telah memberimu kebebasan, Lucius, tidakkah itu cukup? Tapi kuperhatikan kau dan keluargamu kurang begitu bahagia belakangan ini….. apakah karena keberadaanku di rumahmu ini Lucius?”
“Tentu saja tidak Tuanku !”
“Pembohong, Lucius…”
Suara mendesis terus terdengar bahkan ketika mulut Voldemort sudah tidak bergerak. Satu dua orang seperti tak mampu menahan rasa ngeri ketika desisan itu bertambah keras; sesuatu yang berat terdengar bergerak merambat di bawah meja. Seekor ular besar muncul dari bawah secara perlahan ke kursi Voldemort. Seperti tanpa ujung, ular itu terus saja bergerak naik sampai melingkari pundak Voldemort; leher ular itu berada di paha Voldemort, dan matanya tidak berkedip. Voldemort mengelus ular itu dengan tangannya yang kurus sambil terus memandang Lucius Mafoy.
“Kenapa keluarga Malfoy terlihat tidak bahagia di rumahnya? Bukankah kebangkitanku selalu kalian rindukan selama ini?”
“Tentu saja Tuanku,” kata Lucius Malfoy. Tangannya bergetar saat ia mengelap keringat dari atas bibirnya. “Kami tentu saja menginginkan hal tersebut.”
Di sebelah kiri Lucius Malfoy, istrinya, mengangguk dengan aneh, matanya berpaling dari Voldemort dan ular itu. Di kanan Lucius Malfoy, anaknya Draco, yang selalu melihat ke arah tubuh mengambang itu, melirik cepat ke arah Voldemort dan mengalihkan pandangannya lagi, takut untuk membuat kontak mata.
“Tuanku,” kata seorang wanita, suaranya penuh dengan emosi, “Sebuah kehormatan bagi kami karena Tuanku berada di rumah keluarga kami. Tidak ada yang mampu menandingi kebahagiaan ini.”
Wanita itu duduk di sebelah kakak perempuannya, yang sangat berbeda darinya, karena dia berambut gelap dan bermata sangat sayu, dia bersikap berbeda dari kakaknya, Narcissa yang duduk terdiam di kursinya, Bellatrix mencondongkan badannya ke arah Voldemort, hingga sangat terlihat jelas kerinduannya akan kedekatan ini.
“Tidak ada yang mampu menandingi kebahagiaan ini,” ulang Voldemort, kepalanya bergerak sedikit saat ia melihat ke Bellatrix. “Kata-kata ini sangat berarti saat kau yang mengucapkannya.”
Wajah Bellatrix memerah; matanya berair karena penuh kebahagiaan.
“Tuanku tahu bahwa saya berkata jujur!”
“Tidak ada yang mampu menandingi kebahagiaan ini….. bahkan jika dibandingkan dengan suatu acara yang baru saja diadakan di keluarga kalian minggu ini?” Bellatrix memandang Voldemort, bibirnya terbuka, terlihat jelas dia kebingungan.
“Saya tidak tahu maksud Tuanku.”
“Aku berbicara mengenai keponakanmu Bellatrix. Dan tentu saja keponakan kalian, Lucius dan Narcissa. Wanita itu baru saja menikahi si serigala, Remus Lupin. Kalian pasti sangat bangga.”
Terdengar suara tertawa dari sekeliling meja. Beberapa terlihat saling tertawa riang; beberapa terlihat mengetuk-ketukan tangannya ke meja. Tapi ular besar itu tidak merasa nyaman dengan kegaduhan ini, ia mendesis keras dengan marah, tapi paraDeath Eater tidak mendengarnya, mereka begitu riang atas berita yang memalukan Bellatrix dan Keluarga Malfoy. Wajah Bellatrix berubah drastis, dari yang penuh kebahagiaan menjadi cemberut, dan sangat merah.
“Dia bukan keponakan kami, Tuanku,” teriaknya. “ Kami – Narcissa dan saya – tak pernah memandang bahkan sebelah mata pada kakak perempuan kami saat ia menikahi Mudblood itu. Kami tidak ada urusan dengan mereka dan siapa yang peduli anaknya menikahi binatang buas itu.”
“Bagaimana denganmu Draco?” tanya Voldemort, walaupun suaranya perlahan namun terdengar jelas di antar riuh tawa. “Kau akan mengasuh bayi mereka?”
Suara tawa terdengar semakin keras; Draco Malfoy melihat ayahnya dengan ketakutan, tapi ayahnya hanya melihat ke bawah, kemudian Draco melihat ibunya yang mengelengkan kepalanya dengan cepat kemudian memandang ke depan ke arah tembok.
“Cukup” kata Voldemort, sambil mengelus ular yang marah. “Cukup.” Dan suara tawa berhenti seketika.
“Banyak silsilah keluarga kita mulai terlihat sakit,” katanya. Bellatrix memandangnya sambil menahan napas dan terlihat memohon.
“Kalian harus menjaga silsilah keluarga kalian agar tetap sehat. Buang bagian-bagian yang membahayakan kesehatan lainnya.”
“Ya Tuanku,” desah Bellatrix, dan matanya dipenuhi air mata kebahagiaan lagi. “Kami akan segera lakukan itu.”
“Kalian harus lakukan itu,” kata Voldemort. “Lakukan dalam keluarga kalian, begitu juga di seluruh dunia….. kita akan membuang kanker yang menggerogoti kita, hingga tinggal mereka yang berdarah murni akan berjaya…”
Voldemort mengangkat tongkat Lucius Malfoy dan mengarahkannya ke arah sosok tubuh
mengambang itu sambil menggerakan tongkat itu sedikit. Sosok itu terlihat hidup dan mengerang sambil berusaha melepaskan diri dari ikatan yang tak terlihat.
“Kau mengenali tamu kita, Severus?” tanya Voldemort.
Snape melebarkan matanya ke arah sosok itu. SemuaDeath Eater sekarang memandang ke arah tangkapan mereka, seakan-akan mereka mendapat ijin atas keingintahuan mereka. Ketika wajah wanita itu berputar ke arah cahaya perapian, dia berkata dengan suara parau dan penuh ketakutan,
“Severus ! Tolong aku !”
“Ah, tentu saja,” kata Snape. Tubuh wanita itu berputar perlahan lagi.
“Dan kau Draco?” tanya Voldemort sambil mengelus ular itu dengan tangannya yang tak memegang tongkat. Draco mengangguk cepat. Sekarang ia tak berani lagi melihat wanita itu karena ia telah bangun.
“Tapi kau tak mau mengambil kelasnya khan.” Kata Voldemort. “Bagi kalian yang belum tahu, tamu kita ini adalah Charity Burbage, yang merupakan salah satu guru di Sekolah Sihir Hogwart.”
Terdengar suara yang menunjukan pengertian di sekitar meja. Seorang wanita bongkok dengan gigi runcing tertawa kecil.
“Ya….. Profesor Burbage mengajar para murid mengenai Muggle …. bagaimana mereka sebenarnya tidak begitu berbeda dengan kita….”
Salah satuDeath Eater meludah ke lantai. Charity Burbage berputar ke arah Snape lagi
“Severus… tolong…tolong…”
“Diam,” kata Voldemort, dengan sedikit gerakan pada tongkat Malfoy, Charity langsung membisu seperti tersedak. “Bukan saja meracuni pikiran para penyihir muda, minggu lalu Profesor Burbage menulis dengan semangat diDaily Prophet mengenaiMudblood . Menurutnya kita harus menerima pencurian ilmu sihir ini. Dengan semakin berkurangnya penyihir darah murni, dia menyarankan kita menikahi Muggle… atau bahkan mungkinwerewolf .”
Tak ada yang tertawa kali ini: hanya terdengar nada marah dalam suara Voldemort. Untuk ketiga kalinya wajah Charity Burbage menghadap ke arah Snape. Air mata mengalir dari matanya ke rambutnya. Snape memandang balik ke arahnya, sedikit bersemangat, kemudian wanita itu berputar lagi perlahan.
“Avada Kedavra”
Secercah cahaya hijau menerangi setiap sudut ruangan. Charity jatuh ke meja di bawahnya, disertai suara keras, meja itu retak. Beberapa Death Eater memundurkan kursinya, Draco terjatuh dari kursinya.
“Makan malam, Nagini ?” kata Voldemort perlahan, dan ular besar itu bergerak perlahan ke bawah.
“Ada berita baru?” tanya lelaki yang lebih tinggi.
“Tentu saja,“ jawab Severus Snape
Jalan yang mereka lewati ditumbuhi rumput liar di sebelah kirinya, sedangkan di sebelah kanannya dibatasi pagar yang tinggi.
“Sudah kuduga aku akan terlambat,” kata Yaxley, bayangannya muncul tenggelam di keremangan cahaya bulan “ternyata lebih sulit dari yang kukira. Tapi semoga saja dia puas dengan hasil kerjaku. Kau sendiri yakin sekali akan diterima dengan baik?”
Snape hanya mengangguk. Mereka berbelok ke kanan, menuju ke sebuah jalan masuk yang lebar. Dihiasi pagar-pagar yang melekung di atas mereka, di ujung jalan masuk tersebut terdapat sebuah pintu gerbang besi. Namun kedua lelaki tersebut tidak melambatkan langkah mereka: mereka hanya mengangkat tangan kiri mereka seperti menunjukan penghormatan dan berjalan menembus gerbang besi tersebut seperti menembus asap. Suara pohon-pohon cemara yang memagari jalan bercampur dengan suara langkah mereka. Kemudian terdengar sebuah suara gaduh di sebelah kanan mereka, Yaxley menarik kembali tongkat sihirnya dan mengacungkannya ke kepala Snape, tetapi ternyata suara tersebut berasal dari seekor merak berwarna putih, berdiri angkuh di atas pagar.
“ Lucius selalu saja mendapatkan yang terbaik, merak huh…” Yaxley memasukkan kembali tongkatnya.
Sebuah rumah besar terlihat di ujung jalan, cahaya terlihat berkilatan di balik jendelanya. Lantai halaman berbunyi saat Snape dan Yaxley melangkah melewatinya menuju pintu depan, yang langsung terbuka dengan sendirinya. Ruang di dalamnya sangat lebar, diterangi cahaya temaram dan lantainya dihiasi karpet yang sangat indah. Wajah dalam lukisan di dinding mengawasi mereka saat melewatinya. Keduanya berhenti di depan pintu kayu besar yang menuju ke ruang lainnya, dengan sedikit ragu-ragu Snape membuka pintu tersebut. Ruangan tersebut dipenuhi orang-orang yang duduk terdiam mengelilingi meja yang besar. Furnitur yang biasanya ada di ruangan tersebut dipinggirkan secara asal-asalan. Cahaya berasal dari perapian yang dihiasi pualam dengan bingkai kaca.
Snape dan Yaxley terdiam sejenak. Mata mereka mulai membiasakan dengan cahaya yang minim, sesosok tubuh terbalik mengambang dan berputar perlahan di atas meja seakan-akan digantung dengan tali yang tak terlihat. Tak seorangpun yang memberi perhatian pada sosok mengambang tersebut kecuali seorang pemuda yang duduk tepat dibawahnya. Dia sepertinya tak mampu menahan diri untuk melihat sosok mengambang tersebut beberapa menit sekali.
“Yaxley, Snape,” sebuah suara yang tinggi terdengar dari ujung meja. “ Kalian terlambat.” Orang yang berbicara tersebut duduk tepat membelakangi perapian, sehingga hanya terlihat bayangannya saja. Setelah mereka mendekat, wajah orang tersebut mulai terlihat, kepalanya tak berambut, wajahnya menyerupai ular dengan dua lubang kecil untuk hidungnya dan dua mata merah dengan pupil vertikal. Dia sangat pucat solah-olah kulitnya dari mutiara.
“Severus, kau di sini,” kata Voldemort, sambil menunjuk kursi di samping kanannya. “Yaxley, kau di sebelah Dolohov.”
Keduanya mengambil tempatnya masing-masing. Semua mata mengikuti Snape kemudian Voldemort bertanya padanya.
“Jadi?”
“Tuanku,Order of The Phoenix bermaksud memindahkan Harry Potter dari kediamannya besok Sabtu malam.”
Suara bisik-bisik mulai terdengar, beberapa orang seperti tegang, yang lainnya terlihat resah, semuanya melihat ke arah Snape dan Voldemort.
“Sabtu… malam hari,” ulang Voldemort. Mata merahnya memandang tajam ke arah mata Snape bahkan beberapa orang lainnya memalingkan wajahnya seakan-akan mereka takut dipandang mata tajam tersebut. Namun Snape terlihat tenang dan tetap memandang Voldemort, kemudian setelah beberapa saat Voldemort terlihat tersenyum.
“Bagus, sangat bagus. Dan informasi ini berasal dari…”
“Dari sumber yang telah kita bahas sebelumnya,” kata Snape.
“Tuanku.” Yaxley mencondongkan tubuhnya ke depan memandang ke arah Voldemort dan Snape. Semua wajah memandangnya.
“Tuanku, saya mendengar berita yang berbeda.” Yaxley menunggu tanggapan, tetapi Voldemort tidak berbicara, kemudian Yaxley melanjutkan ucapannya, “Dawlish, seorang Auror, terlepas berbicara bahwa Potter tidak akan dipindahkan sampaitanggal tiga puluh , malam sebelum bocah itu berumur tujuh belas tahun.”
Snape hanya tersenyum.
“Sumberku mengatakan bahwa mereka berencana untuk memakai jejak palsu; info ini pasti benar. Saya tak ragu karena mantra Confundus telah digunakan kepada Dawlish. Ini bukan yang pertama kali karena dia sangat mudah dikuasai. Dan Dawlish sepertinya yakin dengan infonya.”
“Jika dia sudah dimantrai Confundus , tentu saja dia merasa yakin,” kilah Snape.
“Yakinlah Yaxley, kantor Auror tidak akan ambil bagian dalam pengamanan Harry Potter. Orde merasa bahwa kita telah menyusupi Kementrian.”
“Untuk yang satu iniOrde menebak dengan benar.” Kata orang pendek yang duduk tidak begitu jauh dari Yaxley; dia terkekeh kecil hingga bergema sepanjang meja tersebut. Voldemort hanya terdiam. Pandangannya ke depan, ke arah sosok mengambang, namun sepertinya pikirannya berada di tempat lain.
“Tuanku,” Yaxley berkata, “Dawlish yakin bahwa sepasukan Auror akan dikerahkan untuk memindahkan bocah itu – ..”
Voldemort mengangkat tangannya yang berwarna pucat dan Yaxley langsung terdiam, kemudian Voldemort memandang Snape lagi.
“Di mana mereka akan menyembunyikan bocah itu?”
“Di rumah salah satu anggotaOrde ,” jawab Snape. “Tempat tersebut, menurut sumber saya, telah diberi segala jenis perlindungan yang dapat diberikan baik olehOrde maupun oleh Kementrian. Menurut saya kemungkinannya sangat kecil untuk mendapatkan anak tersebut setelah dia ada disana Tuanku, kecuali tentu saja jika Kementrian dapat kita kuasai sebelum Sabtu depan, ini akan memberi kita kesempatan untuk mengetahui jenis perlindungannya dan mematahkannya sehingga kita dapat menerobos masuk.”
“Kalau begitu, bagaimana Yaxley?” Tanya Voldemort, cahaya api terlihat berkilatan di mata merahnya. “Bisakah Kementrian kita kuasai sebelum Sabtu depan?” Sekali lagi semua mata mengarah ke arah Yaxley.
“Tuanku, saya punya berita bagus untuk yang satu ini. Saya telah melakukan mantra Imperius pada Pius Thicknesse, dengan susah payah tentunya.”
Orang-orang yang duduk di sekitar Yaxley terlihat terpesona; sebelahnya – Dolohov-, orang yang bermuka panjang, menepuk-nepuk punggungnya.
“Paling tidak ini sebuah permulaan.” Kata Voldemort. “ Tapi Thicknesse hanyalah satu orang. Scrimgeour harus dikelilingi orang-orang kita sebelum aku bertindak. Jika aku gagal membunuh Menteri itu akan berkibat fatal, aku harus memulai dari nol lagi.”
“Ya, Tuanku tentu saja benar, tetapi seperti yang telah Tuanku ketahui, Thicknesse adalah Kepala Departemen Penegakan Hukum, sehingga dia punya akses langsung ke Menteri dan ke semua Kepala Departemen di Kementrian Sihir. Saya rasa, dengan adanya pegawai berpangkat tinggi yang kita kontrol, ini akan memudahkan bagi kita untuk menguasai yang lainnya, kemudian mereka akan bersama-sama bekerja menjatuhkan Scrimgeour.”
“Sepanjang Thicknesse tidak terbongkar rahasianya sebelum dia mengontrol yang lainnya,” kata Voldemort. “Bagaimanapun juga, tetap saja sulit untuk menguasai Kementrian sebelum Sabtu depan. Jika kita tidak dapat menyentuh anak itu di tempat persembunyiannya, maka kita harus melakukannya pada saat dia dipindahkan.”
“Kita juga mempunyai keuntungan untuk yang satu ini, Tuanku,” kata Yaxley dengan penuh keyakinan. “Kita sekarang memiliki beberapa orang yang telah disusupkan dalam Departemen Transportasi Sihir. Jika PotterApparate atau menggunakan JaringanFloo , kita akan segera mengetahuinya.”
“Dia tidak akan menggunakan keduanya,” sahut Snape. “Ordetidak akan memakai segala macam bentuk transportasi yang diawasi dan dikontrol oleh Kementrian; mereka sangat berhati-hati mengenai tempat persembunyian ini.”
“Lebih bagus lagi,” kata Voldemort. “Dia akan bepergian di tempat terbuka. Lebih mudah untuk dijatuhkan.”
Kemudian Voldemort memandang kembali ke arah sosok yang mengambang sambil berkata, “Aku harus menemui sendiri anak itu. Terlalu banyak kesalahan yang kita lakukan dalam menghadapi anak itu. Beberapa kesalahan bahkan aku lakukan sendiri. Lolosnya Potter dari maut lebih karena kesalahkanku, bukan karena kekuatan anak itu.”
Orang-orang di sekitar meja itu memandang Voldemort dengan penuh pengertian, masing-masing merasa bersalah atas lolosnya Harry Potter dari kematiannya. Namun Voldemort sepertinya berbicara kepada dirinya sendiri, sambil terus memandang sosok tubuh mengambang di atas meja tersebut.
“Aku telah bertindak ceroboh, dan sepertinya keberuntungan belum berpihak padaku. Tapi aku telah paham sekarang, hal-hal yang tadinya tak kumengerti sekarang telah kumengerti. Akulah satu-satunya yang harus membunuh Harry Potter dan itu akan segera terjadi.”
Seperti sebuah jawaban dari situasi ini, tiba-tiba sebuah raungan yang penuh penderitaan dan kesakitan terdengar. Mereka menengok ke bawah, suara raungan tersebut berasal dari bawah kaki mereka.
“Wormtail,” kata Voldemort tanpa ada perubahan intonasi di suaranya dan tanpa mengalihkan pandangannya, “bukankah telah kuperintahkan padamu untuk menenangkan tawanan kita?”
“Ya, T-Tuanku,” jawab orang pendek yang duduk dengan sangat rendah di kursinya sampai hampir tak terlihat. Dia bergegas berdiri dari kursinya dan keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan jejak perak di belakangnya.
“Seperti yang telah ku katakan,” lanjut Voldemort memandang kembali ke wajah pengikutnya yang tegang. “Aku telah paham beberapa hal sekarang, contohnya aku harus meminjam tongkat kalian sebelum aku membunuh Harry Potter.”
Wajah-wajah orang disekelilingnya terlihat terkejut: seolah-olah mereka merasa harus
memberikan salah satu tangan mereka.
“Tidak ada yang mau meminjamkan?” kata Voldemort. “Baiklah kalau begitu… Lucius, menurutku kau tidak membutuhkan tongkat sihir lagi.” Lucius Malfoy mengangkat kepalanya. Wajahnya terlihat lebih kuning dan berkilatan diterangi api perapian. Ketika dia berbicara suaranya terdengar parau.
“Tuanku?”
“Tongkatmu Lucius. Aku membutuhkan tongkatmu.”
“Saya…” Malfoy melirik ke arah istrinya. Istrinya memandang lurus ke depan, pucat seperti biasanya, rambutnya yang pirang dan panjang terurai ke belakang., tapi di bawah meja tangannya memegang pergelangan suaminya. Malfoy mengambil tongkatnya dari jubahnya dan menyerahkannya ke Voldemort, yang kemudian memegang dan memeriksanya dengan seksama.
“Terbuat dari apa ini?”
“KayuElm Tuanku.” Kata Malfoy.
“Dan intinya?”
“Pembuluh jantung naga.”
“Bagus,” kata Voldemort. Dia mengambil tongkatnya sendiri dan membandingkan panjang keduanya. Untuk sesaat Malfoy bergerak seolah-olah berharap akan menerima tongkat Voldemort sebagai ganti tongkatnya. Gerakan itu terbaca oleh Voldemort yang matanya melebar sinis.
“Kau kira aku akan memberikan tongkatku Lucius?” Beberapa orang tertawa kecil.
“Aku telah memberimu kebebasan, Lucius, tidakkah itu cukup? Tapi kuperhatikan kau dan keluargamu kurang begitu bahagia belakangan ini….. apakah karena keberadaanku di rumahmu ini Lucius?”
“Tentu saja tidak Tuanku !”
“Pembohong, Lucius…”
Suara mendesis terus terdengar bahkan ketika mulut Voldemort sudah tidak bergerak. Satu dua orang seperti tak mampu menahan rasa ngeri ketika desisan itu bertambah keras; sesuatu yang berat terdengar bergerak merambat di bawah meja. Seekor ular besar muncul dari bawah secara perlahan ke kursi Voldemort. Seperti tanpa ujung, ular itu terus saja bergerak naik sampai melingkari pundak Voldemort; leher ular itu berada di paha Voldemort, dan matanya tidak berkedip. Voldemort mengelus ular itu dengan tangannya yang kurus sambil terus memandang Lucius Mafoy.
“Kenapa keluarga Malfoy terlihat tidak bahagia di rumahnya? Bukankah kebangkitanku selalu kalian rindukan selama ini?”
“Tentu saja Tuanku,” kata Lucius Malfoy. Tangannya bergetar saat ia mengelap keringat dari atas bibirnya. “Kami tentu saja menginginkan hal tersebut.”
Di sebelah kiri Lucius Malfoy, istrinya, mengangguk dengan aneh, matanya berpaling dari Voldemort dan ular itu. Di kanan Lucius Malfoy, anaknya Draco, yang selalu melihat ke arah tubuh mengambang itu, melirik cepat ke arah Voldemort dan mengalihkan pandangannya lagi, takut untuk membuat kontak mata.
“Tuanku,” kata seorang wanita, suaranya penuh dengan emosi, “Sebuah kehormatan bagi kami karena Tuanku berada di rumah keluarga kami. Tidak ada yang mampu menandingi kebahagiaan ini.”
Wanita itu duduk di sebelah kakak perempuannya, yang sangat berbeda darinya, karena dia berambut gelap dan bermata sangat sayu, dia bersikap berbeda dari kakaknya, Narcissa yang duduk terdiam di kursinya, Bellatrix mencondongkan badannya ke arah Voldemort, hingga sangat terlihat jelas kerinduannya akan kedekatan ini.
“Tidak ada yang mampu menandingi kebahagiaan ini,” ulang Voldemort, kepalanya bergerak sedikit saat ia melihat ke Bellatrix. “Kata-kata ini sangat berarti saat kau yang mengucapkannya.”
Wajah Bellatrix memerah; matanya berair karena penuh kebahagiaan.
“Tuanku tahu bahwa saya berkata jujur!”
“Tidak ada yang mampu menandingi kebahagiaan ini….. bahkan jika dibandingkan dengan suatu acara yang baru saja diadakan di keluarga kalian minggu ini?” Bellatrix memandang Voldemort, bibirnya terbuka, terlihat jelas dia kebingungan.
“Saya tidak tahu maksud Tuanku.”
“Aku berbicara mengenai keponakanmu Bellatrix. Dan tentu saja keponakan kalian, Lucius dan Narcissa. Wanita itu baru saja menikahi si serigala, Remus Lupin. Kalian pasti sangat bangga.”
Terdengar suara tertawa dari sekeliling meja. Beberapa terlihat saling tertawa riang; beberapa terlihat mengetuk-ketukan tangannya ke meja. Tapi ular besar itu tidak merasa nyaman dengan kegaduhan ini, ia mendesis keras dengan marah, tapi paraDeath Eater tidak mendengarnya, mereka begitu riang atas berita yang memalukan Bellatrix dan Keluarga Malfoy. Wajah Bellatrix berubah drastis, dari yang penuh kebahagiaan menjadi cemberut, dan sangat merah.
“Dia bukan keponakan kami, Tuanku,” teriaknya. “ Kami – Narcissa dan saya – tak pernah memandang bahkan sebelah mata pada kakak perempuan kami saat ia menikahi Mudblood itu. Kami tidak ada urusan dengan mereka dan siapa yang peduli anaknya menikahi binatang buas itu.”
“Bagaimana denganmu Draco?” tanya Voldemort, walaupun suaranya perlahan namun terdengar jelas di antar riuh tawa. “Kau akan mengasuh bayi mereka?”
Suara tawa terdengar semakin keras; Draco Malfoy melihat ayahnya dengan ketakutan, tapi ayahnya hanya melihat ke bawah, kemudian Draco melihat ibunya yang mengelengkan kepalanya dengan cepat kemudian memandang ke depan ke arah tembok.
“Cukup” kata Voldemort, sambil mengelus ular yang marah. “Cukup.” Dan suara tawa berhenti seketika.
“Banyak silsilah keluarga kita mulai terlihat sakit,” katanya. Bellatrix memandangnya sambil menahan napas dan terlihat memohon.
“Kalian harus menjaga silsilah keluarga kalian agar tetap sehat. Buang bagian-bagian yang membahayakan kesehatan lainnya.”
“Ya Tuanku,” desah Bellatrix, dan matanya dipenuhi air mata kebahagiaan lagi. “Kami akan segera lakukan itu.”
“Kalian harus lakukan itu,” kata Voldemort. “Lakukan dalam keluarga kalian, begitu juga di seluruh dunia….. kita akan membuang kanker yang menggerogoti kita, hingga tinggal mereka yang berdarah murni akan berjaya…”
Voldemort mengangkat tongkat Lucius Malfoy dan mengarahkannya ke arah sosok tubuh
mengambang itu sambil menggerakan tongkat itu sedikit. Sosok itu terlihat hidup dan mengerang sambil berusaha melepaskan diri dari ikatan yang tak terlihat.
“Kau mengenali tamu kita, Severus?” tanya Voldemort.
Snape melebarkan matanya ke arah sosok itu. SemuaDeath Eater sekarang memandang ke arah tangkapan mereka, seakan-akan mereka mendapat ijin atas keingintahuan mereka. Ketika wajah wanita itu berputar ke arah cahaya perapian, dia berkata dengan suara parau dan penuh ketakutan,
“Severus ! Tolong aku !”
“Ah, tentu saja,” kata Snape. Tubuh wanita itu berputar perlahan lagi.
“Dan kau Draco?” tanya Voldemort sambil mengelus ular itu dengan tangannya yang tak memegang tongkat. Draco mengangguk cepat. Sekarang ia tak berani lagi melihat wanita itu karena ia telah bangun.
“Tapi kau tak mau mengambil kelasnya khan.” Kata Voldemort. “Bagi kalian yang belum tahu, tamu kita ini adalah Charity Burbage, yang merupakan salah satu guru di Sekolah Sihir Hogwart.”
Terdengar suara yang menunjukan pengertian di sekitar meja. Seorang wanita bongkok dengan gigi runcing tertawa kecil.
“Ya….. Profesor Burbage mengajar para murid mengenai Muggle …. bagaimana mereka sebenarnya tidak begitu berbeda dengan kita….”
Salah satuDeath Eater meludah ke lantai. Charity Burbage berputar ke arah Snape lagi
“Severus… tolong…tolong…”
“Diam,” kata Voldemort, dengan sedikit gerakan pada tongkat Malfoy, Charity langsung membisu seperti tersedak. “Bukan saja meracuni pikiran para penyihir muda, minggu lalu Profesor Burbage menulis dengan semangat diDaily Prophet mengenaiMudblood . Menurutnya kita harus menerima pencurian ilmu sihir ini. Dengan semakin berkurangnya penyihir darah murni, dia menyarankan kita menikahi Muggle… atau bahkan mungkinwerewolf .”
Tak ada yang tertawa kali ini: hanya terdengar nada marah dalam suara Voldemort. Untuk ketiga kalinya wajah Charity Burbage menghadap ke arah Snape. Air mata mengalir dari matanya ke rambutnya. Snape memandang balik ke arahnya, sedikit bersemangat, kemudian wanita itu berputar lagi perlahan.
“Avada Kedavra”
Secercah cahaya hijau menerangi setiap sudut ruangan. Charity jatuh ke meja di bawahnya, disertai suara keras, meja itu retak. Beberapa Death Eater memundurkan kursinya, Draco terjatuh dari kursinya.
“Makan malam, Nagini ?” kata Voldemort perlahan, dan ular besar itu bergerak perlahan ke bawah.
0 komentar:
Posting Komentar